Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Diriwayatkan di Hari Pembalasan kelak, ada seorang hamba Allah sedang
diadili. Ia dituduh bersalah, menyia-nyiakan umurnya di dunia untuk
berbuat maksiat. Tetapi ia berkeras membantah. “Tidak. Demi langit dan bumi sungguh tidak benar. Saya tidak melakukan semua itu.“ "Tetapi saksi-saksi mengatakan engkau betul-betul telah menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam dosa,” jawab malaikat.
Orang itu menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu ke segenap penjuru. Tetapi
anehnya, ia tidak menjumpai seorang saksi pun yg sedang berdiri. Di
situ hanya ada dia sendirian. Makanya ia pun menyanggah, “Manakah saksi-saksi yang kau maksudkan? Di sini tidak ada siapa kecuali aku dan suaramu.” “Inilah saksi-saksi itu,” ujar malaikat.
Tiba-tiba mata angkat bicara, “Saya yang memandangi.” Disusul oleh telinga, “Saya yg mendengarkan.” Hidung pun tidak ketinggalan, “Saya yang mencium.” Bibir mengaku, “Saya yang merayu.” Lidah menambah, “Saya yang mengisap.” Tangan meneruskan, “Saya yang meraba dan meremas.” Kaki menyusul, “Saya yang dipakai lari ketika ketahuan.” “Nah kalau kubiarkan, seluruh anggota tubuhmu akan memberikan kesaksian tentang perbuatan aibmu itu, ucap malaikat.
Orang tersebut tidak dapat membuka sanggahannya lagi. Ia putus asa dan
amat berduka, sebab sebentar lagi bakal dijebloskan ke dalam jahanam. Padahal, rasa-rasanya ia telah terbebas dari tuduhan dosa itu.
Tatkala ia sedang dilanda kesedihan itu, sekonyong-konyong terdengar
suara yang amat lembut dari selembar bulu matanya: “Saya pun ingin juga
mengangkat sumpah sebagai saksi.” “Silakan”, kata malaikat.
“Terus terang saja, menjelang ajalnya, pada suatu tengah malam yg
lengang, aku pernah dibasahinya dengan air mata ketika ia sedang
menangis menyesali perbuatan buruknya. Bukankah nabinya pernah berjanji,
bahwa apabila ada seorang hamba kemudian bertobat, walaupun selembar
bulu matanya saja yang terbasahi air matanya, namun sudah diharamkan
dirinya dari ancaman api neraka. Maka saya, selembar bulu matanya,
berani tampil sebagai saksi bahwa ia telah melakukan tobat sampai
membasahi saya dengan air mata penyesalan.”
Dengan kesaksian
selembar bulu mata itu, orang tersebut di bebaskan dari neraka dan
diantarkan ke syurga. Sampai terdengar suara bergaung kepada para
penghuni syurga: “Lihatlah, Hamba Allah ini masuk syurga karena
pertolongan selembar bulu mata. (atas rahmat Allah) Sungguh Allah Maha
Pemberi Karunia"
Tapi yang pasti aku selalu mengingatmu dalam do’aku.. Semoga Allah menyayangimu selalu,sebagaimana DIA telah menyayangi diriku dengan menghadirkan dirimu dalam kehidupanku..
Tiada kata yang pantas ku ucap selain,Alhamdulillah..
Semoga dirimu tetap istiqamah menjaga hati hingga janji suci itu terucap dari lisan ini,Aamiin..
Menangis adalah sebuah reaksi emosi yang wajar. Umumnya, perempuan
lebih mudah dan lebih sering menangis daripada laki-laki. Masyarakat
umumnya menuntut laki-laki agar kuat dan tegar, salah satu bentuknya
adalah dengan tidak menangis. Jika seorang laki-laki kedapatan sedang
menangis, cibiran dan cemoohan pun akan tertuju padanya. “Kamu itu
laki-laki, jangan nangis seperti perempuan!”
Laki-laki memang
harus kuat, tetapi bukan berarti tak boleh menangis. Menangislah ketika
mengingat Allah.. Menangislah ketika menyesali dosa-dosa yang telah
diperbuat.. Menangislah Pernah
suatu ketika Rasulullah Saw. menangis sepanjang malam. Apa yang membuat
beliau menangis sepanjang malam? Apakah isteri? Anak keturunan? Harta
benda dan kebun-kebun? Ternyata bukan karena hal-hal duniawi tersebut.
Beliau menangisnya karena dalam shalatnya beliau membaca Al-Qur'an
Surah Al-Ma’idah ayat 118 yang menceritakan doa untuk umatnya, untuk
kita.
Beliau shalat sambil menangis hingga waktu Subuh tiba.
Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut. “Jika Engkau siksa mereka,
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni
mereka, sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Kemudian beliau memanjatkan kedua tangan seraya berdoa, “Ya Allah, umatku .. umatku ..”
Lalu beliau menangis tersedu-sedu.
Allah Ta’ala berkata kepada Jibril, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah
Muhammad. Tuhanmu Maha Mengetahui. Sekarang tanyakan kepadanya, kenapa
dia menangis?”
Jibril pun menemui Rasulullah Saw. untuk
menanyakan sebab musabab beliau menangis. Rasulullah Saw. berterus
terang kepada Jibril mengenai kekhawatiran beliau pada umat beliau.
Jibril pun melaporkan pengaduan Rasulullah itu kepada Allah.
Allah menjawab, “Sekarang, pergi dan temui Muhammad. Katakan padanya
bahwa Aku meridainya untuk memberikan syafaat kepada umatnya dan Aku
tidak akan berbuat buruk kepadanya (selama tidak menyekutukan Allah).”
(HR. Muslim dan Ath-Thabari)
Rasulullah Saw., manusia mulia
itu, laki-laki agung itu, menangis dalam shalatnya. Menangis memohon
ampunan untuk umatnya, kita. Subhanallah. Sungguh besar cinta Rasulullah
Saw. pada kita. Bagaimana dengan kita? Menangiskah kita ketika
mengingat Allah dan Rasul-Nya?
Pagi itu klinik sangat sibuk. Sekitar jam 9:30 seorang pria berusia
70-an datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu-jarinya. Aku
menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, sebab semua dokter masih
sibuk, mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya 1 jam lagi.
Sewaktu menunggu, pria tua itu nampak gelisah, sebentar-sebentar melirik
ke jam tangannya. Aku merasa kasihan. Jadi ketika sedang luang aku
sempatkan untuk memeriksa lukanya, dan nampaknya cukup baik dan kering,
tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yang tidak
terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter, aku putuskan untuk melakukannya sendiri.
Sambil menangani lukanya, aku bertanya apakah dia punya janji lain
hingga tampak terburu-buru. Lelaki tua itu menjawab tidak, dia hendak ke
rumah jompo untu makan siang bersama istrinya, seperti yang
dilakukannya sehari-hari. Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat
di sana sejak beberapa waktu dan istrinya mengidap penyakit Alzheimer.
Lalu kutanya apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat. Dia
menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5
tahun terakhir. Aku sangat terkejut dan berkata, Dan Bapak masih pergi
ke sana setiap hari walaupun istri Bapak tidak kenal lagi? Dia tersenyum
ketika tangannya menepuk tanganku sambil berkata, Dia memang tidak
mengenali saya, tapi saya masih mengenali dia, kan?
Aku terus
menahan air mata sampai kakek itu pergi, tanganku masih tetap merinding,
Cinta kasih seperti itulah yang aku mau dalam hidupku.
Cinta
sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. Cinta sejati adalah
menerima apa adanya yang terjadi saat ini, yang sudah terjadi, yang akan
terjadi, dan yang tidak akan pernah terjadi.
Bagiku pengalaman
ini menyampaikan satu pesan penting: Orang yang paling berbahagia
tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik mereka hanya berbuat
yang terbaik dengan apa yang mereka miliki. Hidup bukanlah perjuangan
menghadapi badai, tapi bagaimana tetap menari di tengah hujan.
Saat Nabi Muhammad SAW hidup, tidak ada seorang pun yang pernah melukis wajahnya, dan juga kamera foto belum lagi ditemukan. Jadi itulah sebenarnya duduk masalahnya. Dan dengan masalah itu sebenarnya kita harus bangga.
Sebab keharaman menggambar wajah nabi SAW justru merupakan bukti
otentik betapa Islam sangat menjaga ashalah (originalitas) sumber
ajarannya.
Larangan melukis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan keharusan menjaga kemurnian ‘aqidah kaum muslimin.
Sebagaimana sejarah permulaan timbulnya paganisme atau penyembahan
kepada berhala adalah dibuatnya lukisan orang-orang sholih, yaitu Wadd,
Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr oleh kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Memang
pada awal kejadian, lukisan tersebut hanya sekedar digunakan untuk
mengenang kesholihan mereka dan belum disembah.
Tetapi setelah
generasi ini musnah, muncul generasi berikutnya yang tidak mengerti
tentang maksud dari generasi sebelumnya membuat gambar-gambar tersebut,
kemudian syetan menggoda mereka agar menyembah gambar-gambar dan
patung-patung orang sholih tersebut.
Melukis Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dilarang karena bisa membuka pintu paganisme atau
berhalaisme baru, padahal Islam adalah agama yang paling anti dengan
berhala.
Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencela kelakuan orang-orang ahli kitab yang mengkultuskan orang-orang
sholih mereka dengan membuat gambar-gambarnya agar dikagumi lalu dipuja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyerupai mereka : “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Janganlah kalian menyanjungku berlebihan sebagaimana orang-orang
Nashrani menyanjung Putera Maryam, karena aku hanya hamba-Nya dan Rasul
utusan-Nya.” (HR. Ahmad dan Al-Bukhori)
Itulah sebab utama
kenapa Umat Islam dilarang melukis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yaitu dalam rangka menjaga kemurnian ‘aqidah tauhid.